Indonesia kaya akan keanekaragaman budaya, dan salah satu tradisi yang masih dijaga dengan kuat oleh masyarakat Jawa adalah upacara ruwatan. Ruwatan berasal dari kata “ruwat,” yang bermakna pembebasan atau perlindungan. Tujuan dari upacara ruwatan adalah untuk membebaskan seseorang dari ancaman mara bahaya atau malapetaka yang mengintai. Orang yang dianggap terkena “sukerta” atau aib dalam tradisi kepercayaan masyarakat Jawa dipercayai akan menjadi mangsa Batara Kala. Upacara ruwatan diselenggarakan dengan tujuan melindungi manusia dari segala ancaman bahaya.
Perlindungan dari Ancaman Bahaya
Dalam tradisi masyarakat Jawa, ada keyakinan kuat bahwa seseorang yang mengalami kesulitan atau cobaan akan menjadi mangsa Batara Kala. Batara Kala adalah dewa berwajah raksasa yang dianggap sebagai personifikasi waktu, mengingat kata “kala” berarti waktu. Ini mengisyaratkan bahwa jika seseorang tidak memanfaatkan waktu dengan baik, ia akan menjadi korban Batara Kala, dewa waktu yang tidak mengenal ampun.
Untuk melindungi diri dari ancaman Batara Kala, masyarakat Jawa meyakini bahwa mereka perlu mengadakan upacara ruwatan. Upacara ini diatur dengan teliti dan memiliki makna mendalam bagi mereka. Dalam pandangan Koentjaraningrat, upacara ngruwat adalah bagian dari ilmu gaib protektif. Tujuannya adalah untuk mengusir penyakit, wabah, membasmi hama tanaman, dan menghindari berbagai bencana. Mantra-mantra dan ritual yang dilakukan dalam upacara ini dianggap memiliki kekuatan gaib yang dapat melindungi mereka dari ancaman mara bahaya.
Pertunjukan Wayang dalam Ruwatan
Salah satu elemen penting dalam upacara ruwatan adalah pertunjukan wayang. Wayang merupakan bentuk seni tradisional di mana seorang dalang mengendalikan boneka atau patung untuk menyajikan cerita. Dalam konteks upacara ruwatan, pertunjukan wayang memegang peran khusus. Lakon wayang yang disajikan dalam upacara ruwatan biasanya adalah Murwakala dan Sudamala, yang termasuk dalam kategori wayang zaman purwa.
Wayang zaman purwa terbagi menjadi empat bagian, mencakup mitos-mitos permulaan kosmos, Arjunasasrabau, yang memuat pendahuluan epos Ramayana, Ramayana itu sendiri, dan Mahabharata. Dalam pertunjukan wayang, terkandung makna yang sangat mendalam. Wayang dianggap sebagai bayangan dunia nyata, tempat makhluk ciptaan Ilahi, seperti manusia, tumbuhan, hewan, dan makhluk lainnya, hidup. Dalam pandangan masyarakat Jawa, apa yang terjadi dalam dunia wayang sering kali dikaitkan dengan dunia nyata. Peristiwa yang terjadi dalam dunia nyata yang disebabkan oleh suatu hal yang mengakibatkan seseorang terkena sukerta akan dihubungkan dengan tindakan Batara Kala.
Lakon Murwakala dan Perlindungan Gaib
Lakon Murwakala adalah salah satu yang paling populer di kalangan masyarakat Jawa, terutama di kalangan para dalang. Lakon ini mengisahkan awal mula atau permulaan dari tokoh Batara Kala. Batara Kala digambarkan sebagai dewa raksasa yang menjelma akibat hawa nafsu jahat dari Batara Guru dan mencari manusia sebagai mangsa. Namun, dalam sebuah pertunjukan wayang, Batara Kala dikalahkan oleh dalang dengan menggunakan jampi-jampi. Kekuatan gaib dari lakon ini begitu besar sehingga tidak boleh ditampilkan tanpa tindakan perlindungan yang memadai.
Lakon Murwakala membawa pesan bahwa dengan memahami sifat-sifat manusia dan alam semesta, kita dapat menghindari ancaman dan mara bahaya. Dalang Sejati dalam lakon ini memainkan peran penting dalam perlindungan gaib terhadap Batara Kala. Dia membaca mantra-mantra seperti carakan balik, setra bedhati, dan kalacakra untuk menjauhkan kekuatan jahat. Dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan, dalang berusaha menciptakan keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan.
Mantra-mantra tersebut menciptakan hubungan dengan unsur-unsur alam, seperti api, angin, air, dan tanah. Masyarakat Jawa meyakini bahwa memanggil unsur-unsur ini dapat memberikan kekuatan dan membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, mantra juga menciptakan keseimbangan dan harmoni antara dunia nyata dan dunia gaib.
Sajen: Hubungan dengan Alam Gaib
Dalam upacara ruwatan, sajen adalah salah satu perlengkapan yang sangat penting. Sajen merujuk pada makanan dan barang-barang yang dipersembahkan kepada makhluk supranatural atau makhluk halus. Ini merupakan sarana untuk menjalin hubungan dengan alam gaib. Dalam pandangan masyarakat Jawa, sajen tersebut tidak dimakan secara harfiah oleh makhluk gaib, tetapi hanya baunya yang dinikmati.
G.A.J. Hazeu menjelaskan bahwa orang yang memberikan sajen kepada makhluk gaib tidak percaya bahwa makanan tersebut akan dimakan fisik oleh makhluk tersebut. Namun, mereka percaya bahwa aroma atau baunya sudah cukup untuk memuaskan roh halus leluhur. Dalam konteks upacara ruwatan, sajen merupakan sarana untuk memperkuat koneksi dengan dunia gaib.
Keseimbangan dalam Kehidupan
Upacara ruwatan adalah contoh nyata bagaimana masyarakat Jawa meyakini bahwa dunia nyata dan dunia gaib terhubung erat. Mereka percaya bahwa tindakan dalam dunia nyata dapat memengaruhi dunia gaib, dan sebaliknya. Keseimbangan dan harmoni antara keduanya adalah kunci untuk menghindari ancaman dan mara bahaya.
Keselarasan juga tercermin dalam konsep klasifikatoris, di mana masyarakat Jawa memandang dunia ini sebagai sebuah sistem yang terkoordinasi, rapi, dan saling berhubungan. Setiap unsur dalam jagad raya, baik yang besar maupun yang kecil, saling berkaitan dan berdampak satu sama lain. Jika ada ketidakseimbangan, itu dapat mengakibatkan kegoncangan dalam jagad raya.
Kesimpulan
Upacara ruwatan adalah tradisi yang kaya dengan makna dan simbolisme dalam budaya Jawa. Dalam upacara ini, masyarakat berusaha menjaga keseimbangan antara dunia nyata dan dunia gaib, serta antara manusia dan alam semesta. Pertunjukan wayang, mantra-mantra, sajen, dan tindakan perlindungan dalam upacara ruwatan mencerminkan keyakinan bahwa dengan menjaga keseimbangan dan harmoni, mereka dapat melindungi diri dari ancaman dan mara bahaya. Upacara ini adalah contoh nyata bagaimana budaya dan kepercayaan masyarakat Jawa berakar dalam konsep kosmis, magis, dan klasifikatoris yang mendalam.
0 Komentar