Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan budaya yang melimpah, di mana setiap daerah memiliki seni pertunjukan tradisional yang khas dan sarat makna. Di antara berbagai seni tradisional tersebut, seni wayang merupakan salah satu bentuk yang paling dikenal dan dihargai, karena kemampuannya untuk menyampaikan cerita dan nilai-nilai budaya melalui pertunjukan boneka yang penuh dengan simbolisme. Seni Wayang Thithi, atau yang juga dikenal sebagai Wayang Kulit Cina-Jawa, merupakan salah satu varian wayang yang menarik untuk disoroti. Seni ini tidak hanya unik karena menggabungkan elemen-elemen dari dua budaya yang berbeda, tetapi juga karena ia telah menjadi saksi bisu dari proses akulturasi yang terjadi di Indonesia selama beberapa dekade.
Seni Wayang Thithi merupakan cerminan dari perpaduan budaya Cina dan Jawa yang mulai berkembang di Indonesia sejak tahun 1925. Dalam seni ini, terlihat jelas bagaimana unsur-unsur dari dua budaya tersebut diintegrasikan dengan harmonis, menciptakan sebuah bentuk seni yang baru namun tetap mempertahankan akar budayanya masing-masing. Dari segi cerita, Wayang Thithi mengambil inspirasi dari mitos dan legenda Tiongkok, sementara dari segi teknik pertunjukan, seni ini mengikuti pola pedalangan wayang kulit Jawa. Hal ini menunjukkan bagaimana seni Wayang Thithi berperan sebagai jembatan yang menghubungkan dan menyatukan dua tradisi budaya yang berbeda, menjadikannya sebagai salah satu contoh terbaik dari proses akulturasi yang terjadi di Indonesia.
Selama masa kejayaannya antara tahun 1925 hingga sekitar tahun 1967, seni Wayang Thithi memainkan peran penting dalam dunia seni pertunjukan di Indonesia. Meskipun saat ini tidak banyak yang mengenal atau mendalami seni ini, pengaruhnya terhadap budaya lokal tidak dapat diabaikan. Seni Wayang Thithi telah memperkaya khasanah seni pertunjukan tradisional Indonesia dengan memperkenalkan elemen-elemen baru yang sebelumnya tidak ada dalam seni wayang pada umumnya. Dengan menggabungkan cerita dari budaya Cina dan teknik pertunjukan Jawa, Wayang Thithi berhasil menciptakan sebuah bentuk seni yang unik dan layak untuk dipelajari serta dilestarikan sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia.
Asal Usul dan Nama Wayang Thithi
Seni Wayang Thithi memperoleh namanya dari suara alat musik kayu berlubang yang digunakan dalam pertunjukan. Ketika alat ini dipukul, suara yang dihasilkan terdengar seperti “thek… thek… thek,” yang dalam bahasa Jawa diucapkan sebagai “thi… thi… thi.” Nama ini mencerminkan salah satu unsur budaya Jawa yang diintegrasikan ke dalam seni pertunjukan ini, menjadikannya sebagai bukti perpaduan antara kedua budaya yang berbeda.
Perbedaan Cerita Seni Wayang Thithi dan Wayang Kulit Jawa
Berbeda dengan Wayang Kulit Jawa yang mengangkat kisah-kisah epik seperti Ramayana dan Mahabharata, Wayang Thithi lebih mengedepankan cerita-cerita mitos dan legenda dari Tiongkok. Beberapa cerita yang sering dipentaskan dalam Wayang Thithi antara lain “San Pek Eng Tay,” “Sam Kok,” dan “Thig Jing Nga Ha Ping She.” Dalam pertunjukan ini, karakter, tempat, dan kerajaan yang muncul merupakan hasil perpaduan budaya Cina dan Jawa. Nama-nama tokoh menggunakan bahasa Hokkian, sedangkan istilah kepangkatan dan jabatan menggunakan bahasa Jawa, seperti narendra, pangeran, patih, dan adipati.
Pengaruh Budaya Jawa dalam Wayang Thithi
Meskipun Wayang Thithi mengadopsi cerita dari Cina, unsur budaya Jawa sangat mendominasi dalam berbagai aspek pertunjukannya. Pola pertunjukan Wayang Thithi mengikuti pedalangan wayang kulit purwa, dengan janturan, suluk, dan kandha yang semuanya menggunakan idiom-idiom pedalangan Jawa. Dalang Wayang Thithi harus menguasai berbagai aspek budaya Jawa, termasuk gendhing (lagu), tembang, serta bahasa Jawa, yang menjadi syarat utama dalam setiap pementasan.
Naskah Lakon Wayang Thithi yang Masih Tersisa
Salah satu warisan penting dari Wayang Thithi adalah naskah lakonnya yang masih ada hingga saat ini. Naskah-naskah ini kini disimpan oleh kolektor seperti Dr. F. Seltmann di Stuttgart, yang kemudian dijual kepada Staatsbibliothek zu Berlin pada tahun 1995. Naskah-naskah ini ditulis dalam bentuk prosa dengan menggunakan bahasa dan aksara Jawa, meskipun menuliskan nama-nama tokoh dan cerita dari budaya Cina. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya Jawa dalam seni pertunjukan ini.
Struktur Pertunjukan Wayang Thithi
Pertunjukan Wayang Thithi biasanya dibagi menjadi tiga babak, dengan iringan musik gamelan yang khas. Setiap babak diiringi dengan gendhing-gendhing pathet nem, gendhing lindur, dan gendhing pathet sanga, sedangkan babak akhir ditutup dengan gendhing pathet manyura. Tradisi istirahat bagi dalang juga diadopsi dalam Wayang Thithi, dengan menampilkan petugas keamanan yang membawa papan pengumuman bertuliskan “Istirahat 10 menit” dalam bahasa Melayu, menunjukkan adaptasi budaya lain dalam seni ini.
Inovasi dalam Wayang Thithi: Tokoh Punakawan
Meskipun pada awalnya Wayang Thithi tidak mengenal tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, perkembangan selanjutnya menyaksikan pembuatan tokoh mirip punakawan dengan unsur budaya Cina. Namun, tokoh Semar tidak diciptakan dalam Wayang Thithi karena Gan Thwan Sing, seorang tokoh pedalangan Wayang Thithi, menyadari betapa pentingnya makna tokoh Semar dalam budaya Jawa sebagai simbol kemuliaan.
Kesimpulan
Seni Wayang Thithi adalah salah satu bentuk seni pertunjukan yang menggambarkan kekayaan dan keanekaragaman budaya di Indonesia. Seni ini merupakan hasil akulturasi yang unik antara budaya Cina dan Jawa, menciptakan perpaduan yang menarik dan mempesona. Melalui Wayang Thithi, kita dapat melihat bagaimana dua budaya yang berbeda dapat bersatu dalam sebuah seni yang penuh makna dan nilai sejarah, serta terus dilestarikan sebagai warisan budaya bangsa.
0 Komentar