Ngaben di Bali adalah salah satu upacara tradisional dalam masyarakat Hindu Bali yang sering dikenal sebagai prosesi pembakaran mayat. Dalam pandangan umum, ngaben di Bali mungkin terlihat seperti sebuah ritual yang hanya berfokus pada pembakaran jasad, namun makna dan kompleksitas upacara ini jauh lebih dalam. Ngaben di Bali bukan hanya tentang membakar mayat, melainkan juga tentang menghantarkan roh orang yang telah meninggal menuju alam pitra atau alam keabadian. Proses ini mencerminkan keyakinan masyarakat Hindu Bali akan siklus kehidupan dan kematian serta pentingnya menjaga hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan roh.
Lebih jauh, ngaben di Bali melibatkan berbagai tahapan dan persiapan yang kompleks, dimulai dari persiapan fisik hingga ritual spiritual. Proses ngaben di Bali biasanya melibatkan persiapan seperti pembuatan bade atau menara jenazah, hingga pembuatan sarcophagus yang akan dibakar bersama jasad. Selain itu, terdapat ritual pemurnian yang dilakukan oleh pendeta untuk membersihkan roh dari segala dosa dan kotoran duniawi. Semua tahapan ini menunjukkan bahwa ngaben di Bali adalah sebuah prosesi yang penuh dengan simbolisme dan makna spiritual yang mendalam, menunjukkan penghormatan terakhir kepada mereka yang telah meninggal dan harapan untuk pembebasan roh mereka.
Ada berbagai jenis ngaben di Bali yang lazim dilakukan, masing-masing memiliki ciri khas dan makna tersendiri. Beberapa jenis ngaben di Bali termasuk ngaben sederhana yang dilakukan dengan cara mengubur mayat tanpa pembakaran, serta ngaben sarat yang melibatkan upacara yang lebih rumit dan mewah. Perbedaan ini tergantung pada berbagai faktor seperti status sosial, kemampuan ekonomi, dan tradisi keluarga. Meskipun ada variasi dalam pelaksanaannya, inti dari ngaben di Bali tetap sama, yaitu memberikan jalan bagi roh untuk mencapai kebebasan dan ketenangan di alam abadi. Dengan berbagai bentuk dan tahapan ini, ngaben di Bali tetap menjadi salah satu pilar utama dalam budaya dan kepercayaan masyarakat Hindu Bali.
Asal Usul Ngaben di Bali
Secara etimologis, istilah “ngaben” mungkin secara kasar diartikan sebagai prosesi pembakaran mayat dalam masyarakat Hindu Bali. Namun, kata “ngaben” tidak selalu berkaitan langsung dengan prosesi membakar mayat. Dalam bahasa Bali, ngaben juga sering disebut “palebon.” Kata “palebon” diyakini berasal dari kata “lebu,” yang berarti tanah atau debu. Jadi, ngaben atau palebon adalah sebuah prosesi upacara bagi mayat untuk kembali menjadi tanah. Dalam hal ini, masyarakat Hindu Bali mengenal dua cara, yaitu dengan mengubur mayat atau membakarnya. Jadi, pembakaran mayat adalah bagian dari upacara ngaben, tetapi ngaben tidak selalu berarti prosesi membakar mayat.
Selain itu, ada varian lain dalam asal usul kata “ngaben” yang menarik untuk dibahas. Beberapa ahli bahasa dan budaya berpendapat bahwa kata “ngaben” di Bali berasal dari kata “api.” Dalam pandangan ini, kata “api” ditambah dengan awalan “ng” dan akhiran “an” menjadi “ngapian,” yang kemudian mengalami perubahan menjadi “ngapen.” Proses perubahan fonem ini adalah fenomena linguistik yang umum terjadi dalam bahasa-bahasa daerah, termasuk dalam bahasa Bali. Perubahan fonem “p” menjadi “b” mengubah kata “ngapen” menjadi “ngaben,” yang memberikan nuansa berbeda namun tetap mengandung makna yang sama.
Dalam konteks ini, “ngaben” di Bali dapat diartikan sebagai “menuju api.” Interpretasi ini sangat relevan dengan prosesi ngaben yang kita kenal, di mana jasad yang meninggal diarahkan untuk mengalami proses pembakaran. Pembakaran mayat dalam upacara ngaben di Bali tidak hanya memiliki fungsi praktis, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam. Api dalam ngaben melambangkan pembersihan dan pemurnian roh dari segala dosa dan kotoran duniawi. Dengan demikian, istilah “ngaben” yang berarti “menuju api” mencerminkan esensi dari upacara ini, yaitu memfasilitasi perjalanan roh menuju kebebasan dan ketenangan abadi melalui elemen api.
Namun, untuk pembahasan dalam artikel ini, kita akan fokus pada ngaben di Bali yang melibatkan prosesi pembakaran mayat. Ngaben di Bali yang melibatkan pembakaran mayat adalah bentuk yang paling dikenal dan sering dilakukan dalam masyarakat Hindu Bali. Upacara ini mencakup berbagai tahapan, mulai dari persiapan fisik hingga ritual spiritual, yang semuanya bertujuan untuk memastikan bahwa roh orang yang meninggal dapat mencapai alam pitra dengan aman dan cepat. Dengan memahami asal usul kata “ngaben” dan maknanya yang dalam, kita dapat lebih menghargai kompleksitas dan keindahan dari tradisi ngaben di Bali yang sarat dengan simbolisme dan nilai-nilai spiritual.
Proses Ngaben dan Pentingnya Tempat dan Alat
Proses ngaben melibatkan beberapa tahap penting, yang mencakup pemasmian (pemprosesan mayat menjadi abu) dan tunon (tempat pelaksanaan upacara). Pemasmian adalah tempat atau wadah di mana mayat diproses menjadi abu. Kata “pemasmian” berasal dari kata “basmi,” sedangkan “tunon” berasal dari kata “tunu,” yang berarti membakar. Dalam bahasa lain, tunon juga sering disebut “setra” atau “sema.” Setra berarti tegalan, dan sema adalah sebutan lain untuk Dewi Durga.
Upacara utama dalam ngaben disebut “Tirta Pangentas,” yang bertujuan untuk memutuskan hubungan antara roh (atma) dengan jasad mayat (jasmani) dan mengantarkannya kembali ke alam pitra (alam keabadian).
Selama proses ngaben, digunakan dua jenis api, yaitu api sekala (nyata) dan api niskala (abstrak). Api sekala digunakan untuk membakar mayat hingga menjadi abu, sementara api niskala digunakan untuk membersihkan roh dari dosa-dosa dan kekotoran. Proses membersihkan ini disebut “mralina.”
Dalam upacara ngaben, api niskala yang dianggap lebih penting karena muncul dari “Sulinggih,” yang adalah seorang pendeta yang memohon kepada Dewa Siwa agar turun ke badannya untuk melakukan “pralina.” Namun, perlu dicatat bahwa ada beberapa daerah di Bali, terutama di pegunungan, di mana ngaben dilakukan tanpa membakar mayat, tetapi cukup dengan menguburkannya. Jenis ngaben ini disebut “bila tanem” atau “mratiwi.” Meskipun tidak melibatkan api sekala, penggunaan api niskala tetap penting dalam upacara ini.
Jenis-Jenis Ngaben dalam Masyarakat Hindu Bali
Ngaben dalam masyarakat Hindu Bali dapat dibagi menjadi dua jenis utama: ngaben sederhana dan ngaben sarat.
1. Ngaben Sederhana:
- Mendhem Sawa: Ngaben tanpa pembakaran mayat, sering disebut “bila tanem” atau “mratiwi.”
- Ngaben Mitra Yajna: Upacara ngaben yang berlangsung selama tujuh hari tanpa mengikuti perhitungan hari baik.
- Pranawa: Ngaben yang menggunakan huruf suci sebagai simbol sawa.
- Pranawa Bhuanakosa: Upacara ngaben yang dilakukan untuk mayat yang belum lama meninggal.
- Swasta: Ngaben khusus untuk mayat yang hilang atau terlalu jauh.
2. Ngaben Sarat:
- Sawa Prateka: Untuk mayat yang belum pernah diubur.
- Sawa Wedhana: Untuk mayat yang telah dikubur sebelumnya.
Dalam semua jenis ngaben ini, upacara Tirta Pangentas memiliki peran penting dalam memandu roh menuju alam pitra (alam keabadian).
Ngaben adalah salah satu upacara yang penuh makna dan kompleksitas dalam budaya Hindu Bali. Meskipun sering diasosiasikan dengan prosesi pembakaran mayat, ngaben memiliki makna yang lebih dalam, termasuk membersihkan roh dari dosa dan memfasilitasi perjalanan roh ke alam keabadian. Dengan berbagai jenis ngaben yang ada, upacara ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dan keyakinan masyarakat Hindu Bali.
Penutup
Sebagai penutup, Ngaben tidak hanya sekadar prosesi pembakaran mayat, tetapi juga merupakan refleksi mendalam dari kepercayaan dan filosofi masyarakat Hindu Bali tentang kehidupan dan kematian. Upacara ini melambangkan penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal, serta harapan untuk pembebasan roh dan kebahagiaan abadi di alam pitra.
Dalam berbagai bentuk dan tahapan yang ada, Ngaben tetap menunjukkan kekayaan budaya dan spiritualitas Bali yang unik dan mendalam. Dengan memahami lebih dalam tentang Ngaben, kita dapat menghargai nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan bagaimana upacara ini memainkan peran penting dalam menjaga harmoni antara manusia, alam, dan roh. Ngaben adalah cerminan dari kearifan lokal yang mengajarkan kita tentang siklus kehidupan yang terus berputar dan pentingnya merayakan setiap tahap perjalanan hidup dengan penuh kesadaran dan penghormatan.
____
Sumber gambar: pinterest.com
0 Komentar